Ketika kaum penjajah
datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti
Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat
Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera
Rasulullah saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah
bersabda :” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi
pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih “.
Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika
ulama menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi
bahasa jurnalistik.
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting
dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir
semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun
sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar
Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno
sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan
Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak
DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan
emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju
Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih
dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati
ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim
sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan
tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang
ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin
perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII
menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para
penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang
mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang
dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan
jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang
mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam
sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya
sekedar menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada
kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat
Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang
mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan semboyan Gold (tambang
emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel (penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan semua cara.
Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam)
setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu sakti dari Paus Alexander VI
dalam suatu dokumen bersejarah yang terkenal dengan nama “Perjanjian
Tordesillas” yang berisi, bahwa kekuasaan di dunia diserahkan kepada dua rumpun
bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah barat menjadi milik Spanyol dan
sebelah timur termasuk Indonesia menjadi milik Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud Katulistiwa
yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan. Pertama mereka menyerang
Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra Pasai tahun 1521 M. Mulailah
mereka mengusik ketenangan berniaga di perairan nusantra yang saat itu banyak
para pedagang muslim dari Arab. Demikian pula para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah terjalin
sangat erat. Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan hubungan Demak dan
Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin merebut rempah-rempah yang merupakan komoditi
penting saat itu. Banyak kapal-kapal mereka dirampas oleh Portugis termasuk
kapal pedagang muslim Arab.
Dengan sikapnya yang tak bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis, seluruh
kerajaan yang ada di Nusantara kemudian
melakukan perlawanan kepada Portugis meskipun dalam waktu dan tempat yang
berlainan. Kerajaan Aceh misalnya sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki
dan negara-negara Islam lain di Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan
angkatan perangnya dan dapat menahan serangan Portugis. Demikian pula,
mendengar perlakuan Portugis yang zalim terhadap para pedagang warga Demak
muslim, Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk berjihad. Halus
dihadapi dengan halus, keras dilawan dengan keras. Kalau orang-orang Portugis
mengobarkan semangat Perang Salib, maka Sultan Demak dan para wali mengobarkan
semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri armada
lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka, tapi kali ini
mengalami kegagalan karena persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua
kalinya dilakukan tahun 1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100
buah kapal dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah
terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari
wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari
Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia
gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar
”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah
utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Sultan
Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto. Meskipun pada masa
Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena perseteruan dalam negeri
tapi kekuatan perang untuk melawan dan mempertahankan diri dari serangan
Portugis masih terus digalang. Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup
membangun kekuatan militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000
kapal-kapal layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400
prajurit masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari
serangan Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka mengalami
kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta) dan
Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima Fatahillah (menantu
Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M. memimpin pasukan Demak menyerang
Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung dan
merebutnya dari tangan penjajah Portugis, kemudian diganti namanya menjadi
Fathan Mubina diambil dari Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina
diterjemahkan menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal
22 Juni 1527 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam Ternate dan
Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka dibawah pimpinan
Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang menjadi persoalan bukan
hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga persoalan penyebaran agama
oleh Portugis. Kristenisasi secara besar-besaran terutama pada tahun 1546
dilakukan oleh seorang utusan Gereja Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan
sangat ekstrimnya ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan mata seorang
Sultan Ternate yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat marah dan bangkit
melawan Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik
oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus melanjutkan perjuangannya
melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra Sultan Haerun selama empat
tahun mereka berperang melawan Portugis, dan Alhamdulillah berhasil mengusir
penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali
datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de
Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal
30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan
penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan
terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan
agama Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat
penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5
abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam
sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan
terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika seluruh
umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai
pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan
golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda
dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka
: Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi
(1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama
Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang
diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda
yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain :
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari
kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari
Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima
lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden
Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200
ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar
8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari
Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan
terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi
(Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya : Teuku
Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima Polim,
Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman,
Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan penjajah kafir Belanda
yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan Pangeran Antasari yang
didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid lainnya seperti pangeran Hidayat,
Sultan Muhammad Seman (Putra pangeran Antasari), Demang Leman dari Martapura,
Temanggung Surapati dari Muara Teweh, Temanggung Antaludin dari Kandangan,
Temanggung Abdul jalil dari Amuntai, Temanggung Naro dari buruh Bahino,
Panglima Batur dari Muara Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Haji
Bayasin, Temanggung Macan Negara, dan lain-lain. Dalam perang Banjar ini
sekitar 3000 serdadu Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin, Pangeran
Neuku dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin
dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum diangkat
namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak dari pada yang
telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku sejarah. Mereka sengaja tidak
mau dikenal, khawatir akan mengurangi keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab
mereka telah betul-betul berjihad dengan tulus demi menegakkan dan membela
Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10 januari
1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar, Banjarmasin,
Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5 Maret 1942.
Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti oleh
penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut
buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari penjajah manapun yang
pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke
negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan
yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan
kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara
Jepang (Geisha).
Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim dirinya
sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon Cahaya
Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka juga paham bahwa
bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli
1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)
yang telah terbentuk pada pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya
Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam
tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan
bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat politik atau
yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda, kemudian sebagai
gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru misalnya Putera (Pusat Tenaga
Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali politik), Jawa Hokokai (Himpunan
Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai, Keibodan, Heiho, Peta dan lain-lain.
Motif utama dibentuknya organisasi-organisasi tersebut hanyalah sebagai kedok
saja yang ternyata untuk kepentingan penjajah Jepang juga. Namun bangsa kita
sudah cerdas justru organisasi-organisasi tersebut sebaliknya dimanfaatkannya
untuk melawan penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah pembentukan tentara PETA
(Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di Bogor yang merupakan cikal
bakal adanya TNI. Terbentuknya memang atas persetujuan penjajah Jepang yang
didukung oleh para alim ulama. Tercatat sebagai pendirinya adalah KH.Mas
Mansur, Tuan Guru H. Yacob, HM.Sodri, KH.Adnan, Tuan guru H.Kholid,
KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim Amrullah, H.Abdul Madjid dan U. Muchtar. Mereka
betul-betul memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan perjuangan bangsa. PETA
saat itu terdiri dari 68 batalion yang masing-masing dipimpin oleh para alim
ulama. Para Bintaranya adalah para pemuda Islam, dan panji-panji tentara PETA
adalah bulan bintang putih di atas dasar merah. Tanggal 5 Oktober 1945
terbentuklah BKR (Barisan Keamanan Rakyat) yang sebagian besar pimpinannya
adalah berasal dari PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan selanjutnya TNI. Jadi
TNI tidak mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68 bataliyon yang dipimpin
oleh para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan Jepang yang sangat kentara merugikan dan
bahkan berbuat aniaya terhadap bangsa Indonesia. Misalnya melalui Jawa Hokokai
rakyat secara paksa untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua serta menanam
jarak yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah pendudukan Jepang,
pelecehan, penghinaan terhadap agama Islam dan umat Islam sudah terang-terang.
Maka umat Islam di berbagai daerah bangkit menentang penjajah Jepang,
diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil,
guru ngaji di Cot Pileng pada tanggal 10 November 1942. Sebabnya karena tentara
Jepang melakukan penghinaan terhadap umat Islam Aceh dengan membakar masjid dan
membunuh sebagian jamaah yang sedang salat subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok pesantren di
Sukamanah Singaparna Tasik Malaya pada tanggal 25 februari 1944. Penyebabnya
karena para santrinya dipaksa untuk melakukan Seikirei, menghormat kepada
kaisar Jepang dengan cara membungkukkan setengah badan ke arah matahari. Ini
tentu saja pelanggaran aqidah Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat tidak tahan
terhadap kekejaman yang dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Hamid pada bulan November 1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang komandan Pleton PETA yang bernama Supriadi
pada tahun 14 Februari 1945 di Blitar, karena mereka tidak tahan melihat
kesengsaraan rakyat di daerah dan banyak rakyat yang korban karena
dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945
kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15 september 1945
datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA
(Nederland Indies Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan
seolah-olah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia.
Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan
tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan
terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran
arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral Sudirman nama yang tidak asing lagi bagi
bangsa Indonesia. Beliau sebagai panglima besar TNI berlatar belakang santri.
Pernah jadi da’i atau guru agama di daerah Cilacap Banyumas sekitar tahun
1936-1942. Berkarir mulai dari kepanduan Hizbul Wathan dan aktif dalam
pengajian-pengajian yang diadakan oleh Muhammadiyah. Beliau pada sebagian
hidupnya adalah untuk berjuang, dan bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau
terus memimpin perang gerilya ke hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo. Dengan
kumandang takbir, beliau mengobarkan semangat berjihad melawan tentara Inggris
di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Karena dahsyatnya pertempuran
tersebut, maka tanggal tersebut dikenang sebagai hari pahlawan. Beliau tercatat
pula dalam sejarah sebagai arsitek bom syahid. Dalam kurun waktu perjuangan
tahun 1945–1949 beliau membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid
yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda.
Bandung lautan api adalah pertempuran dahsyat di Bandung Utara, kemudian di
Bandung Selatan dibawah pimpinan Muhammad Toha dan Ramadhan
.http://www.saefudin.info/2008/12/perkembangan-islam-di-indonesia.html
Masa
penjajahan
a. Peranan Umat islam pada Masa Penjajahan
Sebelum kaum penjajah, yakni Portugis, Belanda
dan Jepang, masuk ke Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia telah menganut
agama Islam. Agama Islam agama yang sempurna, yang ajarannya mencakup berbagai
bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah (akidah dan
ibadah), maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan mahluk Allah
lainnya (social, politik, ekonomi dan kebudayaan).
Dengan dianutnya agama islam oleh mayoritas
masyarakat Indonesia, ajaran islam telah banyak mendatangkan perubahan.
Perubahan-perubahan itu antara lain:
ü Masyarakat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan
raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri hanya kepada Allah, Tuhan
yang maha Esa.
ü Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan islam mampu mengubah
masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap
anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat dan hak-hak yang sama.
ü Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan
semboyan”Hubbul-watan minaliiman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mamou
mengubah cara berpikir masyarakatIndonesia, khususnya para pemudanya, yang
dulunya bersifat sectarian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi
bersifat nasionalis. Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda yang
bernama Jong Indonesia pada bulan februari 1927 dan dikumandangkannya sumpah
pemuda pada tanggal 28 oktober 1928.
ü Semvoyang yang diajarkan Islam yang berbunyi “Isalam adalah agama yang
cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat
Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan
berbagai cara. Mula-mula dengan cara damai, tapi karena tidak bisa lalu dengan
cara menempu peperangan.
Allah SWT berfirman, ‘dan perangila dijalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”
Menurut Islam, berperang dalam ragka mewujudkan dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa, Negara dan agama merupakan “jihad fi
sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga.
Perubahan-perubahan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang ditanamkan islam
tersebut mendorong umat islam Indonesia di berbagai pelosok tanah air untuk
berjuang mengusir kaum penjajah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara
peperangan.
Perjuangan mengusi penjajah terus berlanjut, sampai kaum
penjajah betul-betul angkat kaki dari bumi Indonesia.
b. Perlawanan Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan
1. Perlawanan terhadap Penjajah Portugis
Bangsa Portugis dating dari Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk
Indonesia, dengan semboyan “gold, glory dan gospel”.
Untuk mewujudkan semboyan tersebut, bangsa Portugis
melakuka berbagai usaha dengan menghalakan segala cara. Antara lain pada tahun
1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan aMahmyd Syah (1488-1511_, dari Malaka bangsa
Portugis melebarkan pengaruh kekuasaannya ke kepulauan Nusantara, antara lain
ke kepulauan Maluku lalu mendirikan benteng pertahanan di sana dank e pulau
Jawa dengan mendirikan benteng pertahanan di Sunda Kelapa.
Sikap bangsa portugis yanga kasar dan angkuh, yang
bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya dalam perdagangan,
menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia bangkit untuk memberikan
perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi Nusantara.
Putra mahkota Kesultanan Demak, adipati Unus, memimpin
penyerangan terhadap penjajah Portugis di Malaka (1513), dengan mengerahkan
armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh bala tentara Aceh dan
Sultan Malaka yang sudah tersingkir. Namun penyerangan ini dapat digagalkan
oleh penjajah Portugis, karena keunggulan mereka di bidang persenjataan,
perlawanan terhadap penjajah Portugis yang bermarkas di Malaka ini diteruskan
oleh Sultan trenggonoyang memerintah Demak selama 25 tahun (1521-1546).
Berkali-kali beliau mengirim bantuan ke Johar dan Aceh untuk merebut Malaka
dari penjajah Portugis, namuntetap tidak berhasil.
Kalau perlawanan umat Islam terhadapa Portugis yang
bermarkas di Malaka mengalami kegagalan, lain halnya terhadap penjajah Portugis
yang berpusat di Sunda Kelapa (Jakarta) dan Maluku yang memperoleh hasil
gemilang.
Pada tahun 1526 bala tentara Demak di bawah pimpinan panglima
perang Fatahillah berangkat melalui jalan laut menuju Sunda Kelapa, Fatahillah
dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit
melawan penjajah Portugis. Dalam pertempuran ini Fatahillah dan bala tentaranya
memperoleh kemenangan. Sunda Kelapa di rebut dari tangan penjajah Portugis.
Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta(Jakarta). Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M yang kemudian ditetapkan sebagai hari
lahirnya kota Jakarta.
Di daerah Maluku, Portugis yang bersahabat dengan Ternate,
dan Spanyol yang bersahabat dengan Tidore, berhasil mengdu domba dua kerajaan
Islam tersebut. Sementara kedua kerajaan tersebut bertempur mati-matian,
Portugis dan Spanyol mengadakan perjanjian Tordesilas (1529) yang isinya:
1. Maluku menjadi milik Portugis
2. Filipina selatan menjadi milik Spanyol
Perjanjian ini sangat menekan rakyat Maluku, terutama
Ternate. Oleh karena itu, Sultan Haerun bersama rakyatnya berbalik melawan
Portugis. Kebencian rakyat Ternate semakin meluas, ketika Sultan haerun dibunuh
secara licik pada tahun 1570. Perang pun meletus, dipimpin Sultan Baabullah,
putra Sultan Haerun, rakyat Ternate berperang dangan gagah berani. Setelah
berperang selama empat tahun, akhirnya pada tahun 1574, rakyat Ternate berhasil
mengusir Portugis dari bumi Maluku.
2. Perlawanan terhadap Penjajah Belanda
Setelah penjajah Portugis angkat kaki dari Bumi Indonesia,
bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang untuk pertama kali
berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Corneli de Houtman. Tejuan
kedatang Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah Portugis, yakni untuk
memaksakan praktik monopoli perdagangan untuk menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Untuk mencapai tujuan tersebut,
penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan menghalalkan segala cara.
Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera, musliha damai, mengeruk kekayaan
sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun bangsanya dan membiarkan
rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Menghadapi sikap dan perilaku bangsa Belanda yang tidak
berperi kemanusiaan dan berperikeadilan tersebut, kerajaan-kerajaan islam dan
umat islam dipimpin panglima perangnya masing-masing, bangkit melawan penjajah
Belanda.
Sejarah mencatat denga tinta emas, sederetan nama pejuang
kusuma bangsa yang rela menderita, bahkan berkorban jiwa dalam berperang
melawan penjajah Belanda, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia
tecinta.
Di pulau jawa nama-nama tersebut antara lain: Sultan Ageng
Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dri
Kesultanan Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta. Di Pulau
Sumaera tercatat nama Tuanku Imam Bonjol, yang telah memimpin bala tentara
muslim dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 17 tahun, sehingga
merepotkan penjajah Belanda dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.
Setelah Tuanku Imam Bonjol tertangkap, perjuangan diteruskan oleh Tuanku
Tambusai.
Dari kesultana Aceh kita mengenal sederetan nama para
panglima perang Islam seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek
Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan dan sultan Alaudin
Muhammad Daud Syah.
Dari Maluku, yakni dari Kesultanan Ternate dan Tidore,
tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa seperti, Saidi, Sultan Jamaluddin
dan Pangeran Neuku.
Dari Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Gowa-Tallo dan
Bone, terkenal nama para pahlawan bangsa seperti Sultan Hasanudin da Lamadu
Kelleng yang Bergelas Arung Palaka.
Sedangkan dari Kalimantan Selatan, rakyat yang mengalami
penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang tinggi dan kewajiban kerja paksa
serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan para panglima perang seperti: Pangeran
Antasari, Kyai Damang Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang,
Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa, dan Tumenggung Mancanegara.
Demikianlah nama-nama para pahlawan Islam sebagai para
pejuang kusuma ba
0 comments:
Post a Comment